KOMPAS.com - Mungkin sejak semula manusia telah
memiliki kesadaran akan alam yang senantiasa mengancam keberlangsungan
hidup mereka. Takut akan hewan pemangsa, bencana alam, dan banyak lagi
hal lain yang bisa terjadi.
Namun seiring peradaban berkembang,
rasa takut itu juga berkembang. Misalnya, sekarang manusia modern, yang
tinggal di kota-kota besar, tak perlu takut lagi akan dimangsa binatang
buas. Lebih tepatnya, ketakutan akan binatang buas boleh disebut
ketakutan yang tidak rasional, karena kemungkinannya -- jikapun ada --
sangat kecil sekali.
Tapi seakan-akan bersamaan dengan
berkembangnya peradaban, maka muncul juga ketakutan-ketakutan serta
kecemasan-kecemasan baru pada diri manusia. Ketakutan yang boleh
dibilang juga tak beralasan.
Satu contoh rasa takut, atau tepatnya kecemasan, yang melanda manusia modern adalah FOMO, singkatan dari fear of missing out (takut
ketinggalan). Ketakutan ini muncul dari kenyataan bahwa manusia
(modern) tidak punya cukup waktu untuk melakukan semua yang ia inginkan.
FOMO-lah agaknya yang mendorong orang untuk mau mencoba hal-hal baru yang lagi ngetren.
Misalnya, ada toko es krim baru di pusat kota yang konon rasanya enak
sekali sampai diantre ratusan orang setiap harinya. Foto-foto es krim
itu pun diunggah ke media sosial, tak kurang oleh para pesohor medsos
pula! FOMO akan mendorong manusia untuk mencoba es krim itu.
FOBO
Anand
Tilak, Country Manager Facebook Indonesia, dalam sebuah pertemuan
dengan media di Jakarta, Kamis (9/4/2015), memaparkan sebuah studi yang
menggarisbawahi satu jenis kecemasan lainnya: FOBO alias fear of being offline.
Mengutip sebuah studi dari Crowd DNA,
Tilak mengatakan 73 persen remaja di Indonesia mengaku ingin selalu
terhubung ke internet, di manapun mereka berada. Sebanyak 69 persen anak
muda itu bahkan mengaku lebih baik tidak menonton televisi daripada
tidak terhubung ke internet.
Mungkin ada hubungannya dengan FOMO,
FOBO menunjukkan rasa cemas yang dialami seseorang jika ia tidak
terhubung ke internet sejenak saja. Terhubung ke jaringan internet bisa
jadi mewakili sebuah kondisi "aman" untuk orang tersebut, bahwa selama
ia bisa online ia tak akan tertinggal.
FOBO bisa
menjelaskan mengapa orang tertentu "belingsatan" saat aplikasi media
sosialnya (entah Path, Twitter, Facebook atau apapun) tak bisa
terhubung. Saking cemasnya sampai orang tersebut rela meminjam koneksi
dari orang lain atau berpindah lokasi demi mengejar koneksi internet.
Kecemasan
yang sama mungkin terwujud dalam keinginan untuk selalu memiliki gadget
yang terisi penuh baterainya. Maka kita saksikan bagaimana power bank begitu populer dan nyaris semua penduduk Jakarta memilikinya.
Padahal
ketakutan semacam itu memang sesuatu yang seringkali tidak rasional.
Ya, ada skenario tertentu ketika keterhubungan dengan jaringan internet
adalah sesuatu yang vital dan sangat penting, mungkin terkait pekerjaan
atau hal lain. Tapi pada umumnya, keterhubungan secara terus-menerus
tidaklah terkait langsung dengan keberlangsungan hidup kita. Nggak online nggak mati kok, percaya deh!
Teknologi ketakutan
Teknologi
selain bisa menimbulkan efek samping kecemasan dan ketakutan semacam
itu, ternyata juga bisa menjadi penghantar rasa cemas dan takut yang
cukup efektif. Hal ini terjadi karena begitu mudahnya suatu pesan
tersebar melalui teknologi.
Saat kasus pembegalan terjadi di
beberapa wilayah, misalnya, pesan berantai soal hal ini -- tak peduli
benar atau tidaknya -- menyebar bagaikan listrik di superkonduktor.
Pesan-pesan yang membantu menyebarkan rasa takut akan sesuatu yang,
meskipun memang ada kejadian nyatanya, belum tentu jadi ancaman
langsung.
Demikian juga teknologi yang sama dimanfaatkan untuk
menyebarkan rasa takut pada "yang lain". Maka fitnah dan ucapan keji
atas golongan lain, yang dianggap berbeda dengan golongan sendiri, mudah
sekali menyebar lewat sarana seperti WhatsApp, BlackBerry Messenger,
Line dan lainnya.
Hal itu sulit untuk dicegah dan tak bisa
dilarang. Manusia agaknya akan selalu memanfaatkan sarana apapun yang ia
miliki untuk menyebarkan informasi, terutama yang dianggap bisa
mengancam keberlangsungan hidupnya.
Padahal teknologi informasi
bisa digunakan untuk menenangkan diri dan menyudahi rasa cemas yang
berlebihan. Sedikit pencarian, via Google atau situs lainnya, bisa
dilakukan untuk mencari klarifikasi atas kabar yang beredar.
Sedikit
pencarian juga bisa dilakukan untuk mengetahui tentang pihak lain yang
selama ini disebut-sebut sebagai "monster", "setan" atau hal-hal buruk
lainnya. Luangkan waktu untuk mempelajari manusia lain dan kita niscaya
akan sadar bahwa mereka adalah manusia juga, yang tak pantas "dibunuh"
hanya karena berbeda.
Sensor atau tidak sensor?
Pada
bagian ini, saya kemudian merasakan dilema pribadi. Di satu sisi, saya
percaya bahwa informasi yang terbuka adalah perlu untuk menjaga manusia
tetap beradab. Dengan kemampuan melihat isi pikiran pihak lain, maka
kita bisa mencoba memahami kedudukan pihak lain.
Jika menurut
pada pemikiran itu, sensor adalah sesuatu yang tidak perlu. Sensor
justru mencegah akses pada pemikiran pihak lain, yang artinya mencegah
akses pada pengertian pada pihak lain.
Tapi di sisi lain, saya
sungguh tidak melihat adanya manfaat dari penyebaran kebencian. Kemudian
timbul kecemasan bahwa kebencian yang dipropagandakan itu bisa menular
pada pembacanya, yang kemudian berujung pada tindakan. Di situ
bahayanya!
Idealnya, semua pengguna internet memiliki daya pikir
yang baik sehingga bisa melihat kebencian itu sebagai sesuatu yang tak
beralasan. Tapi kenyataannya tidak demikian, ada banyak pengguna yang
mungkin terpengaruh, karena kurang dewasanya pemikiran, atau sebab
lainnya.
Dalam hal ini, pemikiran saya diliputi oleh kecemasan.
Kita tidak mau kan terulang lagi peristiwa kebencian massal seperti yang
pernah menodai sejarah bangsa-bangsa di bumi ini berkali-kali, di Eropa
maupun di negeri kita sendiri?
Mungkin ada baiknya saya redakan
kecemasan itu dengan tidak terhubung dulu ke jaringan internet, sejenak
saja. Mungkin dengan demikian saya bisa melemaskan urat syaraf yang
tegang dan mengambil napas dalam-dalam.
Tulisan ini merupakan bagian dari seri kolom bertajuk Kolase. Seperti namanya, Kolase menyiratkan sesuatu yang disambung-sambungkan jadi satu dari beberapa hal yang mungkin tidak selalu terkait langsung.
Tulisan ini menampilkan opini pribadi dari Editor KompasTekno, Wicak Hidayat. Opininya tidak menggambarkan opini perusahaan. Penulis bisa dihubungi lewat blog wicakhidayat.wordpress.com atau twitter @wicakhidayat.
http://tekno.kompas.com/read/2015/04/13/13200047/Teknologi.dan.Rasa.Takut.yang.Merayap
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar